Senin, 24 Desember 2007

3 Pemda di NTB harus pemegang saham mayoritas'

[Bisnis Indonesia] - Kalangan anggota Komisi VII DPR menegaskan tiga pemerintah daerah di NTB harus menjadi pemegang saham mayoritas-bahkan kalau mungkin 100%-pada perusahaan daerah yang akan menerima divestasi 7% saham PT Newmont Nusa Tenggara (NNT) senilai US$254,2 juta.


Achmad Farial dan Ade Daud Nasution, keduanya anggota Komisi VII, menegaskan divestasi 7% saham NNT yang harus tuntas pada 2007 ini-termasuk juga divestasi 3% saham pada 2006-seharusnya menguntungkan masyarakat di tiga pemda itu yaitu Pemprov Nusa Tenggara Barat (NTB), Pemkab Sumbawa (PS), dan Pemkab Sumbawa Barat.

"Perusda yang dibentuk oleh tiga pemda itu harus menguasai mayoritas. Kalau BUMD itu bekerja sama dengan swasta dan ternyata swasta yang menjadi mayoritas, sudah bisa dipastikan keuntungan dari tambang emas dan tembaga di sana akan keluar lagi dari NTB. Masyarakat akan gigit jari lagi," ujar Achmad di Jakarta kemarin.

Kamis, 06 Desember 2007

Tragedi Marubeni Merusak Iklim Investasi, Presiden SBY Harus Turun Tangan

[Masyarakat Pemantau Investasi Asing] - Upaya pemerintah RI yang relatif gencar melakukan promosi investasi untuk menggaet investor asing ke Indonesia, termasuk memasang iklan di media internasional dinilai tidak efektif. Hal ini sangat erat kaitannya dengan pengalaman buruk yang dialami perusahaan asing asal Jepang. Marubeni Corporation. Inilah saatnya Presiden Susilo Bambang Yudhono (SBY) turun tangan, meminimalisasi faktor-faktor yang merusak iklim investasi nasional.

Tragedi Marubeni, istilah ini sangat tepat ditujukan kepada Marubeni Corporation. Pasalnya, perusahaan asal asal negeri sakura itu mengalami nasib sial berkali-kali. Pertama, sebagai tergugat dalam kasus melawan Sugar Group Company (SGC) yang kini dimiliki oleh pengusaha Gunawan Yusuf, Marubeni diputus telah melakukan perbuatan hukum di Pengadilan Negeri (PN) Gunung Sugih, Lampung Utara. Kedua, Marubeni juga diputus terbukti melakukan perbuatan melawan hukum di PN Bumi Lampung. Ketiga, gugatan perdata terhadap PT Sweet Indolampung di PN Jakpus juga pupus di tengah jalan, soalnya PN tersebut mengabulkan eksepsi perusahaan itu beberapa waktu lalu.

Tragedi Marubeni ini mengundang perhatian investor internasional, karena dianggap menabrak kelaziman bisnis pada umumnya. SGC yang sebelumnya dimiliki oleh Grup Salim (yang terikat perjanjian MSAA) diserahkan kepada pemerintah, yang kemudian dilelang oleh BPPN dan kini dimilliki oleh Gunawan Yusuf melalui PT Garuda Panca Arta (GPA).
Soal masalah utang dengan Marubeni, sebenarnya BPPN telah menjelaskan dan mengungkapkan keberadaan utang-utang tersebut sebagaimana dijelaskan dalam Info Memo, bahkan PT GPA (Gunawan Yusuf) juga telah menandatangani Conditional Share Purchase and Loan Transfer Agreement (29 November 2001). Bukan itu saja, GPA juga memina bantuan agar terjadinya restrukturisasi utang terhadap Marubeni. Pada 12 Maret 2003, GPA juga telah mengajukan penawaran utang kepada Marubeni menjadi 19 juta dolar AS dalam bentuk prommissory note.

Sangat tidak masuk akal jika kemudian Marubeni Corporation yang memberikan utang PT Sweet Indolampung dan PT Indolampung Perkasa dan digunakan perusahaan untuk membangun pabrik gula dan pembelian mesin-mesin pabrik gula, kemudian menjadi pihak yang divonis bersalah. Padahal hingga saat ini pabrik dan mesin-mesin tersebut tetap beroperasi dan menghasilkan keuntungan yang signifikan dan dinikmati oleh pengusaha Gunawan Yusuf. Sungguh kasihan nasib Marubeni Corporation.


Benar kata orang bahwa iklim investasi di Indonesia ini ditentukan oleh kepastian hukum. Oleh sebab itu, sepanjang masalah ini tidak bisa ditegakkan oleh pemerintah sebaiknya kita semua menyepakati untuk menghentikan semua kegiatan promosi investasi, yang hanya menghmabur-hamburkan uang negara. Mau atau tidak, Presiden SBY memang harus tangan, karena Tragedi Marubeni telah meluluh-lantakkan kepercayaan investor internasional terhadap Indonesia. [Donk Ghanie, Koordinator]